Kamis lalu, tepatnya tanggal 2 Juni 2016, gue ikut pelantikan Bantara. Oke, jujur aja, gue agak ragu buat ikut kegiatan itu karena gue bukan anak pramuka. Tapi karena penasaran, gue ngikut aja.
Kegiatan ini seharusnya dimulai pukul dua siang. Namun karena kegiatan classmeeting sekolah pulang jam dua, kegiatan ini pun diundur sampai jam tiga. Disinilah awal penyiksaannya, jam dua gue pulang naik angkot. Bayangin butuh waktu berapa? Setengah jam lebih! Arrgh.. belum lagi nyiapin persiapan di rumah, 50 menit habis sia-sia.
Berangkat ke sekolah gue dianterin sama si abang—inipun dengan paksaan. Dengan waktu 10 menit, dipastikan kita harus ngebut. Sesampainya di sekolah, gue langsung cari temen-temen. Dan ternyata mereka ngumpul di lantai satu. Gue disaranin langsung sholat Asar cepet, karena bentar lagi mau kumpul. Jujur saja, awalnya gue menyepelekan saran mereka. Tapi pas gue mau sholat, ternyata udah ada perintah buat kumpul. Gue terkejut, takut, sekaligus panik. Untung banget, gue ditemenin si Ulya—temen sekelas gue yang juga ikut. Terpaksa, sholat gue kali ini macem kilat.
Selepas sholat, gue langsung meluncur ke arah barisan. Eits, ternyata gue sangat-sangat terlambat. Sebelum masuk barisan, gue sama si Ulya harus ngadep ke pemimpin barisan—yaitu kakak kelas gue. Karena kami bukan anak pramuka, setiap langkah kami jadi berantakan. Benar-benar memalukan. Dihadapannya, kami ditanya perihal keterlambatan kami. Disinilah gue ngerasa bakalan ada firasat buruk. Setelah itu, kami disuruh masuk ke dalam barisan. Sekali lagi karena kami bukan anak pramuka, kami masuk barisan tanpa aturan. Memalukan.
Di barisan gue banyak melakukan kesalahan. Seperti misalnya harus ngomong “
keep on scouting!” tiap selesai tepuk pramuka, gue malah ngomong “
keep our sporting!”. Syukur, suara gue lirih. Atau misalnya salam pramuka harus dibalas dengan gerakan hormat, tangan gue malah mengepal.
Benar-benar memalukan.
Setelah satu jam baris-berbaris. Kami disuruh ke Menara Kudus untuk berziarah. Lebih tepatnya ke makam Sunan Kudus. Dan gak tanggung-tanggung, kami kesana harus berlari dengan perut kosong—atau itu hanya gue. Ini bukan main-main, jarak sekolah gue ke Menara Kudus itu 500 mater jauhnya! Beruntung waktu itu ada Dandangan di Kudus. Dandangan adalah sejenis pasar dadakan yang ada di Kudus setiap menjelang bulan Ramadhan. Dan adanya Dandangan ini akan menambah kemacetan di kota Kudus yang otomatis bisa memperlambat lari gue. Ini pertama kalinya gue syukur akan adanya kemacetan.
Menjelang Maghrib, kami sudah sampai di sekolah. Kegiatan diisi dengan lomba LCT—yaitu semacam lomba rangking satu. Sekali lagi karena gue bukan anak pramuka, di pertanyaan soal nomor empat gue langsung gugur.
Malam akhirnya tiba, kegiatan pertama selepas sholat Maghrib adalah Tahlil-an. Maklum, karena saat itu malem Jum’at. Kemudian kita langsung makan. Makannya pake lauk tahu, tempe, telur, dan ditampah kuluban. Hmm, lumayan. Satu kelompok yang beranggota tujuh orang mendapat bagian satu nampan. Sayangnya, waktu makan dibatasi, jadi nggak ada cara makan yang sopan ala putri bangsawan. Walaupun tampak sangat mengenaskan, disinilah letak bahagianya menurut gue, yaitu terciptanya sikap kekeluargaan diantara anggota.
Merasa kenyang, akhirnya diadakan lomba PBB. Sekali lagi, karena gue bukan anak pramuka, gue gak ikut lomba tersebut. Saat mengikuti lomba tersebut, temen sekelas gue yang biasanya agak konyol jadi lebih keren.
Selesai lomba PBB, akhirnya masuk ke acara yang paling gue tunggu-tunggu. Yaitu adalah acara api unggun. Kami berbaris melingkar. Sebelum acara bener-bener dimulai, harus ada persiapan. Mungkin satu jam persiapannya, dan itu sangat melelahkan karena posisi kami sedang berdiri. Setelah persiapan yang cukup matang, akhirnya api unggun dinyalakan. Tapi bukannya tampak menyenangkan, suasana malah terkesan horor dan mencekam. Entah karena saat itu malam Jum’at, semua lampu dimatikan, atau mungkin hampir jam sembilan. Apalagi di lantai tiga sekolah gue yang katanya ada makhluk halusnya. Benar-benar mengerikan. Kakak kelas gue juga selalu bilang untuk tidak kosong. Maksudnya sadar dan baca banyak-banyak dzikir.
Setelah beberapa menit, akhirnya semua lampu di sekolah gue dinyalakan—kecuali lantai tiga yang gak kepakai. Oh, ternyata mau diisi dengan acara Pensi. Dan kali ini gue ikut lomba tersebut. Di sini gue berperan sebagai Tukiyem, yaitu IRT yang hobinya mengeluh sekaligus marah-marah. Bener-bener gak cocok sama gue yang nggak banyak omong ini.
Selesai Pensi, kami disuruh (baca:dipaksa) untuk tidur. Dan sebelum tidur, kami harus melepas sepatu dan kaos kaki di lapangan—entah untuk apa. Kamu tau dimana kira-kira kami bakalan tidur.
Di kelas lantai tiga?
Bukan! Kami tidur di luar gedung. Tepatnya parkiran sekolah gue yang super gelap. Sebagai adik kelas yang baik, gue mencoba menerima perlakuan ini dengan sangat tabah. Benar-benar sangat tabah. Hembusan angin malam yang dingin pun gue hiraukan. Sorotan senter sialan kakak kelas ke setiap anggota yang belum tidur juga gue hiraukan. Desakan temen yang tidur di samping gue juga gue hiraukan. Suara dengkuran berisik di sekeliling gue juga gue hiraukan. Benar-benar menyedihkan.
Entah jam satu atau dua, kakak kelas gue teriak-teriak untuk berkumpul. Untungnya gue yang memang gak bisa tidur langsung bangun dan lari ke lapangan. Sayangnya masih ada yang terlambat, terpaksa kami harus di hukum dengan
push up. Selesai menerima hukuman, kami harus memakai sepatu yang di tumpuk mendadi dua kelompok. Dengan pencahayaan yang super parah, gue bener-bener gak tau rupa sepatu gue. Terpaksa gue harus nyomot sepasang sepatu yang kekecilan di kaki gue. Dan itu ini lebih beruntung dari pada temen gue yang dapet sepatu beda pasangannya.
Tengah malam seperti ini, kamu pasti tau dong kegiatan apa yang bakal diadakan. Yap, renungan malam. Seperti biasa, kami, anggota baru, bakal dibuat nangis-nangis sesegukan. Dan gue tidak terlalu menyukai ini.
Selesai bermewek-mewek ria, acara diganti dengan pelantikan Bantara. Yang pokoknya begitulah, gue lupa.
Paginya, dengan muka kumal belum mandi dan serangan kantuk yang begitu dahsyat, kami menjalankan senam. Tidak seperti senam yang biasanya penuh kegembiraan, ini penuh dengan kesuraman. Gue perhatikan muka temen-temen gue. Ada yang kantong matanya semakin menghitam. Ada yang gerakannya males-malesan. Ada yang kebiasaannya menguap terus-terusan. Dan ada juga yang sepatunya masih beda pasangan. Kasihan.
Satu atau dua jam akhirnya acara senam berhenti. Dinganti dengan perlombaan Hasta Karya dan lomba Melukis Tong Sampah. Hasta karya dari kelas gue diisi sama si Ulya. Sedangkan lomba melukis tong sampah gue yang ngisi. Sebenarnya ini alasan utama gue ikut Bantara. Yaitu karen gue hobi gambar gak jelas di buku gue. Di lomba ini, gue dipasangin sama si Aim. Walaupun persiapan dan bahan terbatas, gue bersyukur bisa klop sama si Aim ini.
Selesai bercoret-corat ria, akhirnya masuk di acara yang nggak ditunggu-tunggu—menurut gue. Yaitu hiking. Untuk manusia yang perutnya hobi cenat-cenut (baca: suduk'en) kayak gue, acara ini yang paling menyiksa. Gue nggak tau pasti berapa jarak yang kami tempuh. Di acara hiking ini, kami tiap kelompok hanya di berikan sebuah bekal yang berupa minuman mineral dua liter. Bayangkan dua liter untuk tujuh orang! Ini yang paling mengerikan.
Hiking ditutup dengan sebuah permainan sialan. Yaitu sebuah permainan yang ada semacam terowongannya dan kami harus ngesot di bawahnya. Hebat benar memang! Pakaian kinclong gue berubah jadi kayak pakaian bocah di iklan Rinso. Gue balik ke sekolahan diikuti dengan tatapan heran orang-orang.
Ternyata kelompok gue, yaitu kelompok Anjani tiba di sekolah di urutan nomor dua setelah kelompok Sriwedari. Waktu luang untuk nunggu kelompok lain digunakan untuk minum. Sekali lagi, minum dibatasi hanya 1,5 liter setiap kelompok.
Semua kelompok sudah berkumpul, dan inilah acara yang paling di tunggu-tunggu selain api unggun. Apa lagi kalau bukan pengumuman juara. Sebenarnya gue agak lupa dengan para juaranya. Yang masih gue inget cuma dari kelas gue yaitu Sepuluh Lima. Sepuluh Lima mendapat juara hanya pada tiga perlombaan, yaitu lomba Pensi sebagai juara III, lomba Melukis Tong Sampah sebagai juara II, dan terakhir lomba LCT sebagai juara III. Sedangkan kelompok gue, yaitu kelompok Anjani mendapat sebuah penghargaan sebagai Kelompok Ter-alay. Entahlah, gue bingung bisa kok bisa-bisanya dapet penghargaan itu.
Sampai disini kegiatan palantikan Bantara di sekolah gue. Walaupun penuh dengan ketegangan, gue besyukur bisa ikut kegiatan ini. Karena gue bisa lebih mengenal dan lebih deket sama anak pramuka di sekolah gue. Sampai jumpa di postingan lainnya! :)